Last week (24-02-2014) my class had this one group presenting the
material in front of the classroom and we had a little discussion after. We dug deeper on the topic of sexual
orientation, especially emphasizing on homosexuality. Nowadays,
homosexuality is sort of being in the limelight as to the increasing numbers of
people coming out of closet and the legal policy of gay marriage in a few countries.
I keep thinking about how similar this situation is to the once racial discrimination
phenomenon where black people weren’t allowed to many of human rights and
privileges. Before I share my views on the subject, I would like to fill you in
with a bit of information I got from the class.
Seperti yang sudah saya tulis di
posting sebelumnya, orientasi seksual
mengarah pada pola ketertarikan secara seksual,
romantis, dan emosional terhadap suatu gender
(laki-laki, wanita, atau laki-laki dan wanita). Kaum homoseksual adalah mereka
yang berorientasi seksual pada individu lain dengan gender yang sama. Banyak teori dan pandangan yang berusaha
menjelaskan mengenai ikhtisar, asal-usul, dan perkembangan dari
homoseksualitas. Ada yang mengatakan bahwa homoseksualitas adalah keadaan yang
dibawa sejak lahir, pandangan lain mengatakan bahwa hal ini dipengaruhi oleh upbringing, dan ada juga yang berpendapat
bahwa hormon memainkan peran dalam orientasi seksual (bahwa perempuan lesbian
memiliki kadar hormon testosteron yang lebih tinggi daripada yang selazimnya).
Dari sekian banyak pandangan yang ada, saya mendapati pandangan Behaviorist Theory cukup menarik.
Di dalam makalah kelompok,
tertulis bahwa behaviorist theory
menyatakan bahwa perbedaan orientasi seksual, khususnya homoseksualitas,
terjadi akibat adanya reinforcement
dan reward positif. Those behaviorists state that the differences
in sexual orientation are learned. Without
lessening any of my respect, I somehow find those two statements to be quite
ridiculous.
Seperti yang kita ketahui, mayoritas
masyarakat tentunya tidak memandang homoseksualitas sebagai sesuatu yang ‘baik’,
bahkan beberapa kaum konvensional yang fanatik justru menghujat kaum homoseksual.
Melihat situasi ini, saya rasa reinforcement
dan reward positif yang kaum homoseks
dapatkan tentu tidak sebanding dengan hujatan dan tentangan yang ada. Lingkungan dengan tingkat acceptance dan tolerance yang tinggi serta awareness terhadap kaum LGBT (lesbian, gay, bisexual, dan transgender) mungkin menjadi salah satu
penyebab meningkatnya jumlah orang yang mengaku dirinya homoseksual. Namun saya
rasa hal ini terjadi tidak secara satu arah. It’s like questioning the obvious thing, “Which comes first: The smoke
or the fire?” Tidak mungkin ada asap
jika tidak ada api. Tidak mungkin ada awareness
jika tidak ada objek nyata dalam realita. Homoseksualitas mungkin saja meningkat karena adanya dukungan atau penerimaan (reinforcement positif), namun tidak berarti awal mula homoseksualitas lahir dari lingkungan. Terlebih dahulu harus ada kasus mengenai homoseksualitias dalam jumlah yang cukup banyak sehingga muncul awareness di masyarakat. Saya tidak menyatakan bahwa teori
behaviorist sepenuhnya keliru,
biarlah apa yang saya tulis di atas ditanggapi sebagai opini yang terbuka.
I am a heterosexual, but I neither despise nor glorify those of
homosexuals and bisexuals. Regardless of my religion’s and culture’s
influences, I am all Switzerland on this whole homosexuality thing. It’s not
about the degrading morality of the generation but more like of an acceptance. I do not hold homosexuality above or
below anyone. People are just open about it now. People used to think that black
people were an abomination from evolution as well and now we have gotten to the
point of not making that assumption. I wonder if in a few decades later, all
these LGBT notions will be regarded as normal and accepted wholly as knowledge
and studies about them become more scientifically reliable.
Dalam diskusi
kelas, salah seorang teman saya bertanya, “Apakah seorang ladyboy (laki-laki yang setelah menjalani operasi kelamin menjadi seorang
perempuan) yang menyukai laki-laki lain tergolong homoseksual?” Saya ingin
memberikan tanggapan mengenai hal ini. Gender is a person’s sexual identity, regardless
of the person’s biological and outward sex. Gender mengacu pada identitas seksual dan bukan pada jenis kelamin. Seorang
laki-laki bisa saja merasa bahwa ia sebetulnya perempuan yang lahir dalam raga
laki-laki. It’s like on the outside I’m a
man but the ‘me’ inside is a woman. This means his gender is of a woman. Anggap
saja laki-laki ini kemudian menjalani operasi jenis kelamin menjadi perempuan
lalu kemudian ia menjalin hubungan romantis dengan seorang laki-laki tulen.
Menurut saya, mereka adalah pasangan heteroseksual. Seorang laki-laki hanya dikatakan
homoseksual jika dirinya memang mengakui bahwa ia memiliki gender laki-laki namun juga tertarik dengan laki-laki secara
romantis dan seksual. Seseorang
menjalani operasi kelamin dan menjadi transgender
bukan dilandasi orientasi seksualnya, but
on how one feels about one’s sexual identity.
Bisakah
seseorang yang dulunya homoseksual kemudian ‘kembali’ menjadi heteroseksual? For me life is about finding who you truly
are. Seseorang bisa saja mengaku dirinya homoseksual karena ia sedang
mengalami konflik jati diri hingga pada akhirnya ia menyadari bahwa ia
sebetulnya heteroseksual. Life is an ever changing cycle and we might
as well roll with it. We doubt and then we make sure. It’s ok to be lost and
confused once in a while, that’s what makes us human after all. So when you finally find yourself, make
your mark and celebrate it.
Sometimes we are afraid to speak up our mind and do the things that we actually love because we fear judgments will be held upon us. It's like even though we know we should not bother with what people say, many times we still find ourselves hesitating to stand for what we want because at the end of the day, sometimes those gibberish still get to us. It's ok though. Time has a wonderful way of showing us what really matters: what you think of yourself is much more important than what people think of you. So hats off to those who have the courage to stand for who they really are regardless of their sexual orientation or gender because it shows that they embrace themselves wholly as human beings. You should never feel less special just because you are different from what society molds you to be.
There I have my thoughts said, thank you for keeping up with me.
This picture is taken from Google. |
another great post dear! especially love this bit: Time has a wonderful way of showing us what really matters: what you think of yourself is much more important than what people think of you.
BalasHapuswise words, little owl ;)